Ada seorang muslim dalam keterbatasan ilmu pernah berkata,”Aku
bernadzar, kalau lalai melaksanakan shalat, maka aku harus menghapal
surat pendek Al-Qur`an.” Ternyata dia beberapa kali lalai sholat
sehingga dia sudah tidak ingat berapa banyak surat Al-Qur`an yang harus
dihapal. Dia sudah berusaha menghapal, tapi terbatas dalam kemampuan
daya ingatnya. Pertanyaan : (1). Apakah kata-kata muslim tersebut
termasuk sumpah dan harus bayar kaffarah?; (2) Apakah memberi beras 100
kg kepada panti asuhan bisa sebagai pembayaran kaffarah dan dia tidak
harus menghapal Al-Qur`an lagi?; (3) Bisakah wali muslim tersebut,
membantu menghapal?; (4) Tolong berikan solusi menurut pendapat ustadz… (Hamba Allah, Makassar).
Kata-kata muslim di atas jelas merupakan nadzar, bukan sumpah. Yang
menjadi masalah adalah muslim tersebut ternyata tidak mampu
melaksanakan nadzarnya untuk menghapal surat-surat pendek Al-Qur`an.
Solusi untuk masalah tersebut adalah sebuah hukum syara’ yang digali
dari nash-nash hadis, yaitu bahwa barangsiapa yang bernadzar tapi tidak
mampu melaksanakan nadzarnya, wajib atasnya untuk membayar kaffarah
(tebusan) nadzar, yang sama dengan kaffarah untuk sumpah (yamin) yang tidak terlaksana. Diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir RA bahwa Rasululah SAW bersabda :
كفارة النذر كفارة اليمين
“Kaffarah nadzar adalah kaffarah sumpah.” (HR Muslim, no. 1645, At-Tirmidzi, no. 1528; An-Nasa`i, no. 3832; Abu Dawud, no. 3323, lafazh hadits adalah lafazh Muslim).
Dari Ibnu Abbas RA bahwa bahwa Rasululah SAW bersabda :
من نذر نذرا لم يطقه فكفارته كفارة يمين
“Barangsiapa bernadzar sesuatu nadzar yang tidak mampu dilaksanakannya, maka kaffarahnya adalah kaffarah sumpah.” (HR Abu Dawud, no. 3322, dan Ibnu Majah, no. 2128).
Berdasarkan dalil-dalil ini, maka jelaslah bahwa kaffarah untuk orang
yang tidak mampu melaksanakan nadzar adalah dengan membayar kaffarah
sumpah, yaitu sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat
89 :
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا
تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ
أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ
“…maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan
seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka
kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat
sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).” (QS Al-Ma`idah [5] : 89)
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya berkata :
فهذه خصال ثلاث في كفارة اليمين، أيُّها فَعَلَ الحانثُ أجزأ عنه
بالإجماع. وقد بدأ بالأسهل فالأسهل، فالإطعام أيسر من الكسوة، كما أن
الكسوة أيسر من العتق، فَرُقىَ فيها من الأدنى إلى الأعلى. فإن لم يقدر
المكلف على واحدة من هذه الخصال الثلاث كفر بصيام ثلاثة أيام، كما قال
تعالى: { فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ }
“Ini adalah tiga macam kaffarah sumpah, mana saja yang dikerjakan oleh
pelanggar sumpah, akan mencukupinya menurut ijma’ ulama. Tiga macam
kaffarah tersebut dimulai dari yang paling ringan dan seterusnya, sebab
memberi makan lebih ringan daripada memberi pakaian, sebagaimana
memberi pakaian lebih ringan daripada membebaskan budak. Jadi kaffarah
ini meningkat dari yang rendah kepada yang lebih tinggi. Jika mukallaf
tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga macam kaffarah ini, maka
dia menebus sumpahnya dengan berpuasa selama tiga hari, sebagaimana
firman Allah Ta’ala: Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/176).
Jadi, ayat di atas menjelaskan ada tiga macam kaffarah sumpah yang
boleh dipilih mana saja salah satunya oleh pelanggar sumpah, yaitu :
(1) memberi makan untuk sepuluh orang miskin, dari makanan yang
biasanya diberikan seseorang kepada keluarganya, yang menurut Imam
Syafi’i masing-masing diberi satu mud; atau (2) memberi
pakaian kepada sepuluh orang miskin, misalnya masing-masing diberi satu
baju gamis, atau satu celana panjang, atau satu sarung, dan
sebagainya, atau (3) membebaskan seorang budak, yaitu budak mukmin. Jika
dia tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga kaffarah ini, maka
dia berpuasa selama tiga hari (tidak disyaratkan berturut-turut). (Lihat
Imam Jalaluddin As-Suyuthi & Jalaludin Al-Mahalli, Tafsir Al-Jalalain, 2/257, Maktabah Syamilah).
Jika penanya ingin membayar kaffarah dengan beras, maka yang wajib
diberikan adalah memberi beras kepada sepuluh orang miskin,
masing-masing satu mud (544 gram) untuk satu orang miskin (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah,
hal. 60). Inilah yang diwajibkan dan mencukupi untuk membayar
kaffarah. Selebihnya dari itu adalah tidak wajib, yaitu sunnah karena
dapat dianggap shadaqah yang hukumnya sunnah. Memberi 100 kg untuk
panti asuhan menurut kami masih tidak jelas, karena tidak jelas berapa
orang yang menjadi penerima beras 100 kg itu, juga tidak jelas berapa
kilogram bagian bagi masing-masing penerima. Sebaiknya diperjelas
seperti yang telah kami uraikan.
Mengenai apakah wali muslim tersebut dapat membantu menghapal, menurut
kami tidak boleh, selama pelaku nadzar masih hidup. Sebab yang
dibolehkan adalah menunaikan nadzar dari seseorang yang sudah
meninggal, bukan yang masih hidup. Imam Syaukani dalam kitabnyaNailul Authar hal. 1773 pada bab Qadha`u Kulli Al-Mandzuuraat ‘an Al-Mayyit (Menunaikan Semua yang Dinadzarkan oleh Orang yang Meninggal) mengetengahkan hadits berikut :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ
اسْتَفْتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ لَمْ تَقْضِهِ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْضِهِ عَنْهَا
Dari Ibnu Abbas bahwa Saad bin Ubadah meminta fatwa kepada Rasulullah
SAW, dia berkata,”Sesungguhnya ibuku telah meninggal sedangkan dia
masih berkewajiban melaksanakan nadzar yang belum ditunaikannya.” Maka
Rasulullah SAW berkata,’Tunaikanlah nadzar itu olehmu untuknya.” (HR
Abu Dawud no. 2876, dan An-Nasa`i, no. 3603).
Imam Syaukani menukilkan pendapat Imam Ibnu Hazm dalam masalah ini,
bahwa ahli waris berkewajiban melaksanakan nadzar dari orang yang
diwarisinya dalam semua keadaan (anna al-waarits yulzimuhu qadhaa`u an-nadzari ‘an muwarritsihi fi jamii’i al-haalaat). (Imam Syaukani,Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 1773).
Dengan demikian, jelaslah, bahwa ahli waris dapat melaksanakan nadzar
dari orang yang diwarisinya yang sudah meninggal. Berarti jika orang
yang bernadzar itu masih hidup dan belum meninggal, nadzar itu wajib
dilaksanakan oleh dia sendiri dan tidak boleh ada orang lain yang
melaksanakan nadzarnya. Wallahu a’lam.
Sumber: http://kusnul-nasikin.blogspot.com/2011/01/kaffarah-untuk-nadzar-yang-tidak-mampu.html
Sumber: http://kusnul-nasikin.blogspot.com/2011/01/kaffarah-untuk-nadzar-yang-tidak-mampu.html
0 Komentar untuk "Kafarah Untuk Nadzar Yang Tidak Mampu Dilaksanakan"
Silahkan berkomentar dengan sopan dan bijak sesuai dengan tema artikel dan pastinya
NO SPAM NO SARA AND NO LIVE LINK ALLOWED... okk ;-)